Seperti halnya Cut Nyak dhien, Cut Meutia juga mempunyai dua suami yang keduanya mati syahid sebagai panglima perang. Bedanya ialah, kalau Cut Nyak Dhien ditawan Belanda dan dibuang ke luar daerah, maka Cut Meutia mati syahid dalam medan perang dalam usia terlalu muda, 30 tahun (1880 -1910 M).
Orang tua Cut Meutia adalah Teuku Ben Daud, dan darah bangsawan yang kesatria dan ulama yang bersemangat jihad telah mengalir dalam dirinya dari moyang Teuku Ben Daud sendiri yang hidup sekitar 400 tahun sebelum Cut Meutia lahir, yaitu seorang tokoh bangsawan yang ulama, yang erat hubungannya dengan istana Darud Dunia di Banda Aceh, yang bernama Tok Bineh Blang. Disamping itu Cut Meutia dilahirkan dalam suasana perang (7 tahun setelah pecah perang), dimana ibunya senantiasa mendendangkan lagu-lagu yang menggelorakan semangat.
Mula-mula ia dikawinkan dengan Teuku Syamsyarif yang tidak dicintainya dan yang segera bercerai. Kemudian menikah dengan Teuku Cut Muhammad yang juga seorang pejuang dan panglima perang. Setelah suaminya mati syahid, atas wasiat suaminya itu Cut Meutia kawin dengan Pang Nanggrou, seorang pahlawan yang menjadi wakil suaminya Teuku Cut Muhammad, dan terus melanjutkan perjuangan suaminya yang telah syahid itu. Akhirnya Cut Meutia menjadi janda untuk kedua kalinya, setelah Pang Nanggrou syahid pula pada 26 September 1910, dan sebulan kemudian, 25 Oktober 1910, Cut Meutia syahid pula. Cut Meutia meninggalkan seorang putra dari suaminya Teuku Cut Muhammad, yang diberi nama T. Raja Sabi.
