Pocut Baren adalah Puteri Teuku Cut Ahmad, Uleebalang Tungkop, lahir dalam kancah perang, tahun 1880. Darah kepahlawanan dari ayahnya mengalir ke dalam tubuh Pocut Baren. Dalam usia muda (7-14 tahun) ia selalu mengikuti ayahnya dalam berbagai medan perang di Aceh Barat, sehingga asap mesiu, dentuman meriam dan gemerincing kelewang tidaklah asing bagi remaja puteri itu.
Setelah usia dewasa, Pocut bersuamikan seorang Kejruen, yang menjadi Uleebalang Gueme, disamping sebagai panglima perang di Woyla. Setelah suaminya syahid, Pocut menggantikan kedudukan suaminya, baik sebagai Uleebalang maupun sebagai panglima perang, dan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sambil dengan bijaksana memimpin pemerintahan di daerahnya. Waktu ia masih berusia sekitar 18 tahun, seorang janda yang lauar biasa.
Pocut membangun sebuah benteng di Gua Gunong Macang yang menjadi markasnya, yang dari tempat itu ia melakukan gerilya dengan menyerang tiba-tiba pasukan patroli Belanda. Setiap kali patroli Belanda melewati wilayah markasnya, selalu Belanda terpaksa kembali dengan membawa mayat serdadunya.
Atas perintah Kapiten Heldens, Letnan Scheuler dari kesatuan Kuala Batee, Meulaboh, berkali-kali menyerang Gunong Macang, tetapi tidak berhasil sampai akhirnya ia (setelah mendapat persetujuan dari Kutaraja) membakar Gunong Macang dengan 2000 liter minyak tanah sehingga Kuta Gunong Macang menjadi lautan api. Akibatnya banyak yang mati, baik dari pasukan Pocut Baren maupun juga dari serdadu marsose yang terjebak dalam gua. Di antara mayat-mayat yang ditemukan ialah mayat Teuku Cut Ahmad, ayah Pocut Baren. Adapun Pocut Baren sendiri dapat menerobos pasukan marsose yang mengawal di pintu gua melalui suatu pertempuran yang sangat dahsyat. Setelah bebas dari "Neraka Gunong Macang" Pocut membangun kubu pertahanan baru, yang tidak lama kemudian ia telah menyerang pasukan Schleuler di Tanoh Mirah, pos Belanda yang telah diperkuat dengan pasukan dari Meulaboh, Kutaraja dan dari Betawi.
Dalam suatu pertempuran yang berkecamuk sejak pagi buta sampai sore hari, kaki Pocut Baren tertembak, dan beliau ditawan karena tidak sempat dibawa lari oleh pasukannuya. Beliau dibawa ke Meulaboh dan kemudian ke Kutaraja. Kakinya yang telah hancur kena pecahan peluru itu terpaksa dipotong, dan menjadi cacat.
Jenderal van Daalen yang telah menjadi Gubernur Militer Aceh, telah menetapkan untuk membuang Pocut Baren ke tanah Jawa, tetapi seorang perwira Belanda, Kapten Veltman, yang telah mempelajari adat istiadat Aceh memberi advis agar Pocut Baren tidak dibuang ke luar Aceh, sebab rakyat akan bertambah marah dan semangat perang mereka akan bertambah menyala.
Akhirnya, Pocut Baren yang tidak jadi dibuang ke tanah Jawa, dan kaki kanannya yang cacat itu, menikah dengan Teuku Muda Rasyid, dan menetap di Tungkop sebagai Uleebalang Tungkop dan Geume. Pada tanggal 9 September 1912, Kapten Veltman bersama Letnan Gosensons datang ke Tungkop menemui Pocut Baren yang masih marah, untuk meminta maaf kepada Pocut Baren.
Setelah berjihad sejak masih amat muda dengan tidak mengenal lelah, setelah ditawan sebagai orang yang tidak mempunyai kaki sebelah, dan setelah memimpin pemerintahan di Tungkop dan Geume dengan berhasil, maka pada tahun 1933, dalam usia 53 tahun, pahlawan wanita dari Aceh, Pocut Baren, meninggal dunia, dan meninggalkan nama yang harum sepanjang masa.
