Ayah Teungku Fakinah adalah seorang pejabat tinggi kerajaan (umara) dan ibunya adalah anak seorang ulama besar, yang juga menjadi ulama. Karena itu tidak heran kalau Teungku Fakinah menjelma menjadi seorang panglima perang dan ulama besar.
Ketika kecil dan remaja, Teungku Fakinah mendapat pendidikan Islam dan membaca Al-Qur'an dari ibunya, serta belajar kerajinan tangan dan ilmu-ilmu agama, ia juga pernah mendapat pendidikan militer menjelang pecahnya perang Aceh.
Setelah dewasa, Fakinah bersuamikan seorang perwira juga ulama bernama Teungku Ahmad, yang keduanya sebelum pecah perang mengajar pada Dayah Lampucok yang dibangun oleh ayah Fakinah.
Teungku Ahmad, suami Fakinah, mati syahid dalam perang, dan sejak itu Teungku Fakinah berusaha untuk membentuk sebuah pasukan tentara setingkat Resimen (yang disebut Sukey). Atas persetujuan Sultan terbentuklah Sukey Fakinah yang terdiri atas 4 batalion (balang), dimana beliau sendiri menjadi panglimanya. Salah satu dari keempat batalion dalam Sukey Fakinah itu, seluruh prajuritnya terdiri atas kaum wanita, sementara komandan-komandan kompi dan Regu pada batalion-batalion lain adalah juga dipimpin oleh wanita. Beliau ikut bertempur di berbagai medan perang dalam wilayah Aceh Besar, dan setelah lewat 10 tahun perang beliau turut bergerilya di pedalaman dengan beberapa pemimpin Aceh, termasuk bersama Sultan Muhammad Daud dan Tuangku Hasyim Banta Muda.
Salah satu peranan Teungku Fakinah yang perlu dicatat ialah, upayanya untuk menyadarkan T. Umar, suami kawan dekatnya Cut Nyak Dhien, untuk kembali ke pihak Aceh.
Kepada teman dekatnya itu beliau mengirim surat, yang antara lain isinya sbb :
"Saya harap kepada Cut Nyak agar menyuruh suami Cut Nyak, T. Umar, untuk memerangi wanita-wanita yang sudah siap menanti di Kuala Lamdiran (maksudnya Resimen Fakinah), sehingga akan dikatakan orang bahwa dia adalah panglima yang berani, johan pahlawan seperti yang digelarkan oleh musuh kita Belanda..."
Isi surat itu sangat menyegat perasaan Cut Nyak Dhien, dan mendorongnya untuk berusaha menyadarkan kembali suaminya. Lewat Do Karim, Cut Nyak Dhien mengirim pesan kepada suaminya, yang antara lain berbunyi:
"Apalagi Pang Karim, sampaikan kepada Teuku Umar, bahwa Teungku Fakinah telah siap sedia menanti kedatangan Teuku Umar di Lamdiran. Sekarang barulah dinilai perjuanganmu cukup tinggi pria lawan wanita, yang belum pernah terjadi pada masa nenek moyang kita. Kafir sendiri segan memerangi wanita. Karena itu, Teuku didesak berbuat demikian. Sudah dahulu kuperingatkan: janganlah engkau menyusu pada badak ".
Pesan Cut Nyak Dhien sangat menyentuh hati Teuku Umar, dan tidak berapa lama kemudian maka Teuku Umar kembali kepada bangsanya dengan membawa alat persenjataan Belanda yang cukup banyak.
Demikianlah, maka kemudian dalam umur yang cukup tua, seorang pahlawan dan ulama besar Teungku Fakinah berpulang kerahmatullah pada tanggal 3 Oktober 1933, dan dimakamkan di Lamdiran di tempat kelahirannya.
Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa setelah Pang Nanggrou, suami Cut Meutia, mati syahid pada tanggal 24 September 1910, maka Cut Meutia melanjutkan perang gerilya bersama putranya yang masih kecil, Teuku Raja Sabi. Namun Cut Meutia pun syahid sebulan kemudian, maka perjuangannya dilanjutkan oleh para panglima bawahannya, salah seorang di antaranya ialah Teungku Cutpo Fatimah, yang berjuang bersama suaminya Teungku di Barat.
Teungku Fatimah adalah anak Teungku Khatim seorang ulama. Teungku Fatimah dan Teungku di Barat (suaminya) adalah sama-sama murid dari Teungku Khatim.
Teungku di Barat dan Teungku Fatimah adalah Panglima-panglima dari pasukan Cut Meutia-Pang Nanggrou. Seperti pahlawan wanita lainnya yang telah dibicarakan, Teungku Fatimah pun berperang di medan laga dengan gagah berani, bahu membahu dengan suaminya dan pejuang yang lain.
Pertempuran antara lain berlangsung di hutan Pasai, di mana di tempat itu di dalam suatu pertempuran yang sangat sengit, Teungku Fatimah dan suaminya teungku di Barat mati syahid bertindih mayat dengan disaksikan kayu-kayu perawan hutan Pasai dan diratapi kicauan burung-burung rimba. Itu terjadi pada tanggal 22 Pebruari 1912.
